Biasanya yang menjadi objek penelitian alias eksperimen jahat tersebut adalah para budak, tahanan maupun sebuah keluarga. Para peneliti yang dalam hal ini kebanyakan adalah para dokter yang mengorbankan kehidupan seseorang untuk kehidupan orang lainnya.
Setelah satu dekade tes itu dilakukan, efeknya pun mulai nampak dan dikorelasikan dengan tes nuklir itu, yaitu meningkatnya keguguran dan matinya janin sebesar dua kali lipat di 5 tahun pertama setelah eksperimen itu, tetapi kemudian kembali normal lagi.
Setelah 10 tahun, efek-efek lainnya bermunculan, anak-anak mereka menderita kanker Thyroid. Departemen Energi mengatakan bahwasanya penduduk Marshall ternyata dijadikan objek dalam percobaan tersebut.
Banyak yang mempublikasikan bahwasanya proyek itu dengan sembunyi-sembunyi menggunakan berbagai macam obat-obatan, untuk memanipulasi mental individual dan mengubah fungsi otak.
Eksperimen ini menggunakan LSD (sejenis obat-obatan) yang diberikan kepada pekerja CIA, personel militer, doktor, agen pemerintah, PSK, pasien kelainan mental dan anggota lainnya untuk mempelajari bagaimana reaksi mereka. LSD dan obat-obatan lainnya diberikan tanpa adanya studi dan izin. Pelanggaran terhadap Nuremberg Code yang telah disetujui AS.
Usaha untuk “merekrut” objek penelitian yang telah disebutkan di atas pun ilegal, walaupun faktanya obat-obatan yang digunakan telah terdaftar. Pada tahun 1973, Direktur CIA, Richard Helms memerintahkan agar semua file MKULTRA dihancurkan. Sehingga menyebabkan investigasi terhadap kasus ini tidak dimungkinkan lagi untuk dilakukan.
Walaupun jumlah pastinya tidak diketahui, ahli bedah dari tentara apartheid memperkirakan sebanyak 900 tentara dikerahkan untuk operasi ini sejak 1971 hingga 1989 di rumah sakit militer, sebagai bagian dari program top secret untuk menumpas homoseksual.
Psikiater tentara dibantu oleh pemimpin agama setempat dengan agresif “menguber-uber” tentara homoseksual, mengirim mereka satu per satu menuju unit psikiater militer. Bagi yang tidak bisa diobati dengan obat-obatan, shock terapi, pengobatan dengan hormon, dan maka akan dikebiri atau diganti alat kelaminnya.
Dugaan kekejaman HAM ini ditolak oleh pemerintah Korea Utara, yang mana mereka mengklaim bahwasanya tahanan di sana diperlakukan secara “manusiawi”.
Bekas tahanan wanita mengatakan bahwa di penjara, 50 tahanan wanita yang sehat dipilih dan diberikan daun kol yang beracun, mereka harus memakannya walaupun mereka menolaknya dan menangis karena dipaksa. Kesemuanya dalam waktu 20 menit meninggal setelah muntah dan buang-buang air besar disertai darah. Jika menolak untuk memakan daun kol itu akan menyebabkan keluarga mereka yang akan jadi sasaran.
Kwon Hyok, bekas kepala keamanan di Camp 22, menjelaskan adanya laboratorium yang dilengkapi dengan gas beracun, gas untuk membuat mati lemas dan eksperimen “darah” dari 3 atau 4 orang, mungkin satu keluarga yang dijadikan bahan eksperimen.
Setelah menjalani pemeriksaan medis, bilik kemudian ditutup rapat dan racun diinjeksikan lewat sebuah tabung, dan para “ilmuwan” kemudian mengobservasi apa yang terjadi lewat kaca.
Kwon Hyok mengatakan dia telah menyaksikan sendiri bagaimana satu keluarga yang terdiri dari satu ayah, satu ibu dan satu anak yang mati gara-gara gas, saat itu orang tuanya mencoba menyelamatkan nyawa anaknya dengan cara bernafas lewat mulut, walaupun ternyata itu sia-sia.
Mereka mengetes sejumlah racun mematikan dengan objek para tahanan dari Gulag (musuh masyarakat). Racun tersebut antara lain gas mustard, ricin, digitoxyn dan lain-lain.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan zat kimia yang tak berasa dan berbau yang tidak bisa terdeteksi oleh alat-alat tertentu. “Kandidat” racun diberikan kepada korban, lewat makanan dan minuman mereka, sebagai “obat”.
Dan berdasarkan testimoni para saksi mata, korban kemudian berubah secara fisik, mereka menjadi lebih pendek, cepat lelah, tenang, diam dan akhirnya mati dalam 15 menit. Mairanovsky menggunakan berbagai macam kondisi untuk para korbannya untuk mendapatkan gambaran yang berbeda-beda dari tiap racun.
Penelitian ini kemudian menjadi kontroversial karena dilaksanakan tanpa adanya perlindungan HAM terhadap objek penelitian. Mereka yang didaftarkan di penelitian ini tidak diberikan informasi mengenai hasil diagnosa terhadap mereka, dan termasuk persetujuan untuk dijadikan bahan penelitian.
Bahkan mereka dikatakan memiliki darah yang kotor “bad blood” dan diiming-imingkan mendapatkan perawatan medis, kendaraan antar menuju klinik, makanan dan asuransi kematian.
Pada tahun 1932, ketika penelitian ini dimulai, standar pengobatan untuk pengidap siphillis yang digunakan sangat beracun, berbahaya dan efektivitasnya dipertanyakan. Sebenarnya lebih baik para pasien pengidap penyakit kelamin tersebut tidak ikut serta dalam penelitian berbahaya ini.
Di penghujung penelitian ini, hanya 74 orang yang tetap hidup. 28 meninggal langsung karena siphillis, 100 karena komplikasi, 40 istri mereka tertular penyakit ini, dan 19 anak mereka terlahir terkena penyakit siphillis bawaan.
Sejumlah kekejaman tersebut dilakukan atas komando dari Shiro Ishii, seperti vivisection (pembedahan hidup-hidup) termasuk di dalamnya dilakukan terhadap ibu hamil yang dihamili sendiri oleh dokter bedahnya, amputasi anggota tubuh para tahanan, pengangkatan bagian tubuh, membekukan bagian tubuh tersebut, dan kemudian mencairkannya kembali saat ingin diteliti. Manusia juga dijadikan objek tes granat dan pelempar api.
Shiro Ishii
Para tahanan diinjeksikan virus penyakit, untuk penelitian vaksinasi, dan melihat bagaimana efeknya. Tahanan pria maupun wanita diinfeksikan penyakit siphillis dan gonorrhea (penyakit kelamin) lewat permerkosaan dan kemudian diteliti. Hingga akhir hayatnya, Ishii belum pernah dipenjara atas kekejaman yang telah dilakukannya dan meninggal di usia 67 tahun karena kanker tenggorokan.
Eksperimen terhadap anak kembar di kamp konsentrasi juga dilakukan untuk meneliti bagaimana persamaan dan perbedaan genetik mereka, dan untuk melihat bagaimana tubuh manusia bisa “dimanipulasi”.
Pimpinan pusat eksperimen adalah Dr. Josef Mengele, yang melakukan eksperimen terhadap lebih dari 1.500 tahanan kembar, yang hasilnya kurang dari 200 orang yang bisa bertahan hidup.
Mereka diatur berdasarkan umur dan jenis kelamin dan menempatkan mereka di barak selama tes. Mata mereka diinjeksikan zat kimia yang berbeda untuk melihat perubahan warna yang terjadi.
Dan pada tahun 1942 Luftwaffe memimpin eksperimen untuk mengetahui bagaimana pengobatan hypothermia (penyakit karena kedinginan). Para objek penelitian yang dalam hal ini manusia dimasukkan ke dalam tanki berisi air es selama lebih dari 3 jam dan mereka melihatnya dari atas. Penelitian lainnya menempatkan para tahanan telanjang di tempat pendingunan selama beberapa jam.
Di antara Juli 1942 hingga September 1943. Eksperimen untuk menginvenstigasi efektivitas dari sulfonamida, agen antimikrobial sintetis, yang dipimpin oleh Ravensbruck. Luka pada objek manusia diinfeksikan bakteri Streptococcus, gas gangren dan tetanus.
Sirkulasi darah dihentikan dengan cara memutuskan pembuluh darah di dekat luka untuk menciptakan kondisi yang sama di peperangan. Infeksi makin ditingkatkan dengan cara memasukkan serbuk kayu dan serbuk kaca ke dalam luka. Infeksi kemudian diobati menggunakan sulfonamida dan obat-obatan lainnya untuk membandingkan efektivitasnya.
1. Project 4.1
Project 4.1 adalah perancangan penelitian medis di AS yang dilakukan oleh penduduk Marshall Islands. Mereka diarahkan untuk melakukan tes nuklir dengan cara menjatuhkan bahan radioaktif dari tanggal 1 Maret 1954 di Bikini Atoll, yang ternyata menghasilkan dampak dahsyat yang tak terduga sama sekali.Setelah satu dekade tes itu dilakukan, efeknya pun mulai nampak dan dikorelasikan dengan tes nuklir itu, yaitu meningkatnya keguguran dan matinya janin sebesar dua kali lipat di 5 tahun pertama setelah eksperimen itu, tetapi kemudian kembali normal lagi.
Setelah 10 tahun, efek-efek lainnya bermunculan, anak-anak mereka menderita kanker Thyroid. Departemen Energi mengatakan bahwasanya penduduk Marshall ternyata dijadikan objek dalam percobaan tersebut.
2. Project MKULTRA
Project MKULTRA atau MK-ULTRA adalah kode untuk program penelitian mind-control (pengendalian pikiran) yang dilakukan CIA, yang dimulai pada tahun 1950an dan dilanjutkan hingga akhir 1960an.Banyak yang mempublikasikan bahwasanya proyek itu dengan sembunyi-sembunyi menggunakan berbagai macam obat-obatan, untuk memanipulasi mental individual dan mengubah fungsi otak.
Eksperimen ini menggunakan LSD (sejenis obat-obatan) yang diberikan kepada pekerja CIA, personel militer, doktor, agen pemerintah, PSK, pasien kelainan mental dan anggota lainnya untuk mempelajari bagaimana reaksi mereka. LSD dan obat-obatan lainnya diberikan tanpa adanya studi dan izin. Pelanggaran terhadap Nuremberg Code yang telah disetujui AS.
Usaha untuk “merekrut” objek penelitian yang telah disebutkan di atas pun ilegal, walaupun faktanya obat-obatan yang digunakan telah terdaftar. Pada tahun 1973, Direktur CIA, Richard Helms memerintahkan agar semua file MKULTRA dihancurkan. Sehingga menyebabkan investigasi terhadap kasus ini tidak dimungkinkan lagi untuk dilakukan.
3. The Aversion Project
Tentara apartheid Afrika Selatan memaksa prajurit lesbian dan gay kulit putih untuk menjalani operasi ‘sex-change’ pada tahun 1970an dan 1980an, menghukum mereka dengan cara dikebiri, kejutan listrik dan eksperimen medis lainnya.Walaupun jumlah pastinya tidak diketahui, ahli bedah dari tentara apartheid memperkirakan sebanyak 900 tentara dikerahkan untuk operasi ini sejak 1971 hingga 1989 di rumah sakit militer, sebagai bagian dari program top secret untuk menumpas homoseksual.
Psikiater tentara dibantu oleh pemimpin agama setempat dengan agresif “menguber-uber” tentara homoseksual, mengirim mereka satu per satu menuju unit psikiater militer. Bagi yang tidak bisa diobati dengan obat-obatan, shock terapi, pengobatan dengan hormon, dan maka akan dikebiri atau diganti alat kelaminnya.
4. North Korean Experimentation
Telah banyak yang melaporkan bahwa adanya eksperimen manusia terjadi di Korea Utara. Laporan kekejaman HAM ini menunjukkan adanaya kesamaan dengan eksperimen yang dilakukan oleh Nazi dan Jepun pada saat PD-II.Dugaan kekejaman HAM ini ditolak oleh pemerintah Korea Utara, yang mana mereka mengklaim bahwasanya tahanan di sana diperlakukan secara “manusiawi”.
Bekas tahanan wanita mengatakan bahwa di penjara, 50 tahanan wanita yang sehat dipilih dan diberikan daun kol yang beracun, mereka harus memakannya walaupun mereka menolaknya dan menangis karena dipaksa. Kesemuanya dalam waktu 20 menit meninggal setelah muntah dan buang-buang air besar disertai darah. Jika menolak untuk memakan daun kol itu akan menyebabkan keluarga mereka yang akan jadi sasaran.
Kwon Hyok, bekas kepala keamanan di Camp 22, menjelaskan adanya laboratorium yang dilengkapi dengan gas beracun, gas untuk membuat mati lemas dan eksperimen “darah” dari 3 atau 4 orang, mungkin satu keluarga yang dijadikan bahan eksperimen.
Setelah menjalani pemeriksaan medis, bilik kemudian ditutup rapat dan racun diinjeksikan lewat sebuah tabung, dan para “ilmuwan” kemudian mengobservasi apa yang terjadi lewat kaca.
Kwon Hyok mengatakan dia telah menyaksikan sendiri bagaimana satu keluarga yang terdiri dari satu ayah, satu ibu dan satu anak yang mati gara-gara gas, saat itu orang tuanya mencoba menyelamatkan nyawa anaknya dengan cara bernafas lewat mulut, walaupun ternyata itu sia-sia.
5. Poison laboratory of the Soviets
Laboratorium Racun (The Poison Laboratory) Sovyet yang sangat rahasia juga dikenal dengan nama Laboratory 1, Laboratory 2 dan “The Chamber”, yang merupakan fasilitas penelitian dan pengembangan racun milik agen polisi rahasia Sovyet.
Mereka mengetes sejumlah racun mematikan dengan objek para tahanan dari Gulag (musuh masyarakat). Racun tersebut antara lain gas mustard, ricin, digitoxyn dan lain-lain.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan zat kimia yang tak berasa dan berbau yang tidak bisa terdeteksi oleh alat-alat tertentu. “Kandidat” racun diberikan kepada korban, lewat makanan dan minuman mereka, sebagai “obat”.
Dan berdasarkan testimoni para saksi mata, korban kemudian berubah secara fisik, mereka menjadi lebih pendek, cepat lelah, tenang, diam dan akhirnya mati dalam 15 menit. Mairanovsky menggunakan berbagai macam kondisi untuk para korbannya untuk mendapatkan gambaran yang berbeda-beda dari tiap racun.
6. The Tuskegee Syphilis Study
The Tuskegee Syphilis Study (penelitian Siphillis Tuskegee) terhadap pria Negro merupakan penelitian klinis yang dilakukan pada tahun 1932-1972 di Tuskegee, Alabama, AS, yang mana sebanyak 399 pria Afro-Amerika miskin (ditambah 201 orang - kelompok kontrol yang tidak mengidap siphillis) yang merupakan petani dan beberqapa mengidap siphillis.
Penelitian ini kemudian menjadi kontroversial karena dilaksanakan tanpa adanya perlindungan HAM terhadap objek penelitian. Mereka yang didaftarkan di penelitian ini tidak diberikan informasi mengenai hasil diagnosa terhadap mereka, dan termasuk persetujuan untuk dijadikan bahan penelitian.
Bahkan mereka dikatakan memiliki darah yang kotor “bad blood” dan diiming-imingkan mendapatkan perawatan medis, kendaraan antar menuju klinik, makanan dan asuransi kematian.
Pada tahun 1932, ketika penelitian ini dimulai, standar pengobatan untuk pengidap siphillis yang digunakan sangat beracun, berbahaya dan efektivitasnya dipertanyakan. Sebenarnya lebih baik para pasien pengidap penyakit kelamin tersebut tidak ikut serta dalam penelitian berbahaya ini.
Di penghujung penelitian ini, hanya 74 orang yang tetap hidup. 28 meninggal langsung karena siphillis, 100 karena komplikasi, 40 istri mereka tertular penyakit ini, dan 19 anak mereka terlahir terkena penyakit siphillis bawaan.
7. Unit 731
Unit 731 merupakan penelitian biologi dan kimia rahasia dan merupakan unit pengembangan tentara imperial Jepun yang melakukan penelitian maut dengan objek manusia selama perang Sino-Japanese kedua (1937-1945) dan PD-II. Penelitian kontroversial ini bertanggung jawab atas adanya kriminalisasi dalam perang yang dilakukan oleh serdadu Jepun.
Sejumlah kekejaman tersebut dilakukan atas komando dari Shiro Ishii, seperti vivisection (pembedahan hidup-hidup) termasuk di dalamnya dilakukan terhadap ibu hamil yang dihamili sendiri oleh dokter bedahnya, amputasi anggota tubuh para tahanan, pengangkatan bagian tubuh, membekukan bagian tubuh tersebut, dan kemudian mencairkannya kembali saat ingin diteliti. Manusia juga dijadikan objek tes granat dan pelempar api.
Shiro Ishii
Para tahanan diinjeksikan virus penyakit, untuk penelitian vaksinasi, dan melihat bagaimana efeknya. Tahanan pria maupun wanita diinfeksikan penyakit siphillis dan gonorrhea (penyakit kelamin) lewat permerkosaan dan kemudian diteliti. Hingga akhir hayatnya, Ishii belum pernah dipenjara atas kekejaman yang telah dilakukannya dan meninggal di usia 67 tahun karena kanker tenggorokan.
8. Nazi Experiments
Penelitian Nazi merupakan eksperimen medis terhadap banyak orang yang dilakukan oleh rezim Nazi Jerman di kamp konsentrasi selama PD-II. Di Auschwitz, di bawah arahan Dr. Eduard Wirths, menyeleksi penghuni kamp untuk dijadikan bahan penelitian untuk menolong personel militer Jerman, untuk memberikan pertolongan pengobatan terhadap personel yang terluka.
Eksperimen terhadap anak kembar di kamp konsentrasi juga dilakukan untuk meneliti bagaimana persamaan dan perbedaan genetik mereka, dan untuk melihat bagaimana tubuh manusia bisa “dimanipulasi”.
Pimpinan pusat eksperimen adalah Dr. Josef Mengele, yang melakukan eksperimen terhadap lebih dari 1.500 tahanan kembar, yang hasilnya kurang dari 200 orang yang bisa bertahan hidup.
Mereka diatur berdasarkan umur dan jenis kelamin dan menempatkan mereka di barak selama tes. Mata mereka diinjeksikan zat kimia yang berbeda untuk melihat perubahan warna yang terjadi.
Dan pada tahun 1942 Luftwaffe memimpin eksperimen untuk mengetahui bagaimana pengobatan hypothermia (penyakit karena kedinginan). Para objek penelitian yang dalam hal ini manusia dimasukkan ke dalam tanki berisi air es selama lebih dari 3 jam dan mereka melihatnya dari atas. Penelitian lainnya menempatkan para tahanan telanjang di tempat pendingunan selama beberapa jam.
Di antara Juli 1942 hingga September 1943. Eksperimen untuk menginvenstigasi efektivitas dari sulfonamida, agen antimikrobial sintetis, yang dipimpin oleh Ravensbruck. Luka pada objek manusia diinfeksikan bakteri Streptococcus, gas gangren dan tetanus.
Sirkulasi darah dihentikan dengan cara memutuskan pembuluh darah di dekat luka untuk menciptakan kondisi yang sama di peperangan. Infeksi makin ditingkatkan dengan cara memasukkan serbuk kayu dan serbuk kaca ke dalam luka. Infeksi kemudian diobati menggunakan sulfonamida dan obat-obatan lainnya untuk membandingkan efektivitasnya.
source: http://www.apakabardunia.com/post/tahukah-kamu/8-eksperimen-tersadis-dengan-manusia-sebagai-objek-percobaannya