Gigolo atau laki-laki pemuas nafsu wanita/perempuan yang butuh kenikmatan seksual diluar jalur pernikahan. Menjadi teman selingkuh bagi wanita yang ingin mencoba seks berbeda di belakang suaminya. Itu mungkin pengertian dan definisi sederhana dari Gigolo. Dan faktanya, Gigolo bukan sebuah dongeng tapi memang nyata adanya. Gigolo bisa disebut juga PSK Pria atau pria/lelaki pelacur. Seiring perkembangannya, ternyata Gigolo tidak hanya memperuntukan dirinya untuk wanita/perempuan tapi juga untuk laki-laki (om-om) penyuka sesama jenis.
Fakta terdekat yang bisa kita jadikan rujukan adalah Film Dokumenter Cowboys In Paradise Kuta Bali yang menghebohkan beberapa waktu lalu. Selain itu, tayangan atau liputan (deep reporting) media massa baik cetak maupun elektronik pun sudah banyak yang menguak keberadaan Gigolo terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surbaya, Malang dl. Salah satunya adalah pada liputan mendalam SCTV ‘SIGI.’ Atau bisa juga disimak pada film Arisan Brondong dan Quickie Express, dua Film Indonesia yang mengangkat kehidupan para Gigolo kelas atas.
Jika dilihat pada kasus yang terungkap pada sumber-sumber diatas, maka motif uang atau faktor ekonomi menjadi alasan utama yang dikedepankan para Gigolo untuk merelakan dirinya menjadi pemuas nasfsu tante girang maupun om girang. Seperti yang pernah diungkap pada Acara SIGI SCTV, umumnya para Gigola ini memasang tarif antara Rp. 500 rebu hingga jutaan rupiah. Mereka memiliki jaringan yang rapi dan broker (germo) yang lihai dalam mencari mangsanya. Para Gigolo ini ada yang berstatus cowok panggilan dan ada juga yang bergerilya secara mandiri mencari mangsa di tempat fitnes atau kebugaran, hotel, klub malam, cafe dan tempat strategis lainnya bagi mereka yang tentunya aman.
Dibalik motif ekonomi, tidak menutup kemungkinan bahwa motif birahi dan petualangan seks juga menjadi alasan bagi mereka yang berprofesi sebagai Gigolo atau yang coba-coba ingin menjadi Gigolo. Fakta menarik tampak pada postingan Tante Girang di blog Goyang Karawang ini atau blog-blog lain, banyak pria yang mengumbar nomer ponsel dan mengundang tante girang untuk menghubungi dengan ajakan kencan bahkan tanpa bayaran.
Disisi lain, ‘perkembangbiakan’ Gigolo juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh media massa, seperti koran, tv, radio, majalah, blog, situs dan jenis media lainnya yang disadari atau tidak telah ikut mempopulerkan profesi ini, dengan liputannya maupun ulasannya mengenai Gigolo. Jika tanpa peran media, maka Gigolo tidak akan berkembang pesat seperti sekarang.
Namun hakekatnya kemudian, budaya instan yang berkembang pesat di masyarakatlah yang menjadi kuncinya. Mendapatkan uang secara instan dan kenimatan sesaat dengan modal tubuh atau body yang gagah dengan otot dan (mungking) penis besar dan panjang serta secara adalah salah jalan yang ditempuh para Gigolo.
Dalam kesimpulan sederhana saya, berdarkan uraian diatas, Fenomena Gigolo menurut saya bukan hanya fenomena sosial, bukan hanya juga fenomena ekonomi dan kemerosotan moral, tapi sudah menjadi bagian dari budaya atau lebih spesifiknya Counter-culture. Sebuah budaya yang lahir dari pertentangan budaya besar. Gigolo lahir atas ketidakpuasan terhadap budaya induknya yang dianggapnya terlalu mengurung kebebasan mereka.
Gigolo merupakan simbol dari sebuah pemberontakan norma. Mereka (kaum Gigolo) memiliki nilai sendiri yang dijadikannya seakan benar dibalik ketidak mampuannya secara ekonomi, serta ketidakberdayaan untuk keluar dari masalah ekonomi dan moral yang menimpanya. Sebagai entitas budaya dan kaum minoritas, mereka punya aturan dan konvensi sendiri, punya norma dan nilai sendiri, mereka hidup secara tertutup, sendiri maupun berkelompok, memiliki cara dan perilaku yang sama dengan tujuan yang sama, dan yang pasti mereka memiliki pembenaran dalam tindakannya.
source: http://goyangkarawang.com/2010/09/menjadi-gigolo-pelacur-pria/