Sunan Kalijaga atau biasa diucapkan sebagai Sunan Kalijogo oleh lidah jawa merupakan pemimpin para Wali di tanah Jawa. Namanya hingga saat ini masih sangat melegenda di kalangan Masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya sebagai salah seorang penyebar agama islam walaupun sudah ratusan tahun lalu masanya.
Sunan Kalijogo menggunakan dzikir sebagai sarananya untuk mendekatkan diri pada Alloh SWT. Beragam bacaan dzikir beliau ajarkan pada para muridnya , demikian pula cara berdzikirnya, mulai dzikir lisan, dzikir nafas , dzikir kolbu, dzikir ruh, dzikir perbuatan dan lain lain.
Beliau melihat tingkat ketaqwaan atau maqom orang tersebut dalam mengajarkan dzikir, oleh karenanya wajar bila di masyarakat banyak yang mengaku bersumber dari ajaran Sunan Kalijaga, walaupun tentunya berbeda baik bacaan maupun caranya berdzikir.
Sunan Kalijogo lahir pada sekitar tahun 1450 dengan nama kecilnya adalah Raden Said. Dimana beliau merupakan putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.
Pada satu riwayat, Sunan Kalijaga diceritakan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 keturunan yakni R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah dan Dewi Sofiah.
Sunan Kalijaga diperkirakan berumur mencapai lebih dari 100 tahun. Oleh karenanya beliau mengalami beberapa masa kerajaan mulai akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, dan bahkan juga Kerajaan Pajang yang berdiri pada 1546 serta awal kelahiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Beliau juga ikut merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (atau pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid merupakan kreasi Sunan Kalijaga.
Untuk berdakwah, beliau mempunyai pola yang sama dengan mentor (Guru) sekaligus sahabat dekatnya yakni Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Dan bahkan Beliau juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Sunan kalijogo juga sangat toleran pada budaya lokal, pendapatnya adalah bahwa masyarakat akan menjauh bila diserang pendiriannya. Oleh karenanya masyarakat harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan bilamana Islam sudah dipahami, maka dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Oleh karenanya tidaklah mengherankan bila ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.
Beberapa lagu suluk ciptaan Sunan Kalijogo yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga dimakamkan di Desa Kadilangu yakni sebuah desa didekat kota Demak. Makam Sunan Kalijaga hingga sekarang masih ramai diziarahi oleh masyarakat baik dari jawa khususnya, Indonesia umumnya dan bahkan dari negara lain.