Balita 2 tahun Aldi Rizal yang sudah menggemparkan dunia karena kecanduan berat rokok hingga mampu menghabiskan 40 batang rokok sehari itu kini akhirnya sudah sembuh setelah menjalani rehabilitasi pemulihan di Komisi Perlindungan Anak yang dimotori oleh kak Seto Mulyadi. Kini Bocah yang berasal dari Musi Banyuasin Sumatera Selatan sudah bisa hidup tanpa asap rokok.
Di ajang World Summit on Media for Children and Youth yang digelar di Karlstad, Swedia, Juni lalu, pria yang lebih akrab dipanggil Kak Seto itu, kerap ditanyai para peserta negara lain tentang kondisi terakhir Ardi. Bagi mereka, bayi 2 tahun yang melahap 40 bungkus rokok per hari, adalah sesuatu hal yang sangat memprihatinkan. Sebisa mungkin Kak Seto memberi pengertian bahwa Indonesia sangat serius untuk menangani kasus Ardi. Belakangan orang tua Ardi juga merelakan anaknya untuk direhabilitasi di kediaman Kak Seto di Jakarta.
Tidaklah berlebihan bila dunia luar menyoroti kasus Aldi Rizal ini, karena beritanya sudah beredar kemana mana di media luar negeri dan menjadi headline utama media terkenal dunia, sehingga pemerhati masalah keanakan sangatlah serius dan menaruh perhatian padanya agar bisa segera pulih kembali.
Menurut Kak Seto, Ardi adalah anak yang cerdas dan bisa diberikan pengertian. “Ardi bahkan sudah bisa menyarankan orang lain untuk tidak merokok,” kata Kak Seto menjelaskan. Awal bulan September ini Aldi sudah pulih seperti sedia kala dapat hidup tanpa rokok sama sekali.
Dengan menggunakan metode social learning, Kak Seto berhasil mengalihkan keinginan Ardi untuk menghisap rokok dengan berbagai aktivitas permainan. Mulai dari bermain ayunan, perosotan, berlari, menggambar, dan berbagai kegiatan yang mengasyikkan dengan anak-anak lain seusia Ardi.
Menurut Kak Seto, ternyata permasalahan utama yang menyebabkan Ardi mengalami kecanduan rokok adalah lingkungan dan kekosongan aktivitas.
Oleh karenanya, Kak Seto merekomendasikan agar sepulangnya Ardi ke rumah, ia dikondisikan untuk tetap berada di lingkungan bebas asap rokok dan ia dimasukkan ke dalam kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Menurut Aris Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak. Menurutnya, hingga kini peraturan yang diperlukan untuk mengatur pembatasan wilayah merokok, kampanye dan promosi rokok, serta pembatasan produksi rokok, masih mandek di tangan pemerintah, dalam hal ini Kementrian Kesehatan.
Padahal, UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang disahkan Oktober lalu, mengamanatkan segera disahkannya Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif tersebut, maksimal setahun sejak disahkannya UU Kesehatan.
Menurut Aris, ada beberapa hal penting yang diperlukan dalam peraturan ini. Yang paling penting adalah pembatasan iklan rokok. Menurut dia, selama ini iklan-iklan rokok di Indonesia secara spesifik berhasil mengeksploitasi anak-anak yang berusia muda sebagai pemakai pemula.
“Anak-anak adalah investasi industri rokok, yang akan menggantikan para pecandu rokok yang berhenti di usia tua. Maka, promosi dan iklan rokok ini memang sengaja menggempur mereka, berkedok sponsor di bidang musik, olahraga dan kegiatan-kegiatan lain,” kata Aris.
Di ajang World Summit on Media for Children and Youth yang digelar di Karlstad, Swedia, Juni lalu, pria yang lebih akrab dipanggil Kak Seto itu, kerap ditanyai para peserta negara lain tentang kondisi terakhir Ardi. Bagi mereka, bayi 2 tahun yang melahap 40 bungkus rokok per hari, adalah sesuatu hal yang sangat memprihatinkan. Sebisa mungkin Kak Seto memberi pengertian bahwa Indonesia sangat serius untuk menangani kasus Ardi. Belakangan orang tua Ardi juga merelakan anaknya untuk direhabilitasi di kediaman Kak Seto di Jakarta.
Tidaklah berlebihan bila dunia luar menyoroti kasus Aldi Rizal ini, karena beritanya sudah beredar kemana mana di media luar negeri dan menjadi headline utama media terkenal dunia, sehingga pemerhati masalah keanakan sangatlah serius dan menaruh perhatian padanya agar bisa segera pulih kembali.
Menurut Kak Seto, Ardi adalah anak yang cerdas dan bisa diberikan pengertian. “Ardi bahkan sudah bisa menyarankan orang lain untuk tidak merokok,” kata Kak Seto menjelaskan. Awal bulan September ini Aldi sudah pulih seperti sedia kala dapat hidup tanpa rokok sama sekali.
Dengan menggunakan metode social learning, Kak Seto berhasil mengalihkan keinginan Ardi untuk menghisap rokok dengan berbagai aktivitas permainan. Mulai dari bermain ayunan, perosotan, berlari, menggambar, dan berbagai kegiatan yang mengasyikkan dengan anak-anak lain seusia Ardi.
Menurut Kak Seto, ternyata permasalahan utama yang menyebabkan Ardi mengalami kecanduan rokok adalah lingkungan dan kekosongan aktivitas.
Oleh karenanya, Kak Seto merekomendasikan agar sepulangnya Ardi ke rumah, ia dikondisikan untuk tetap berada di lingkungan bebas asap rokok dan ia dimasukkan ke dalam kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Menurut Aris Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak. Menurutnya, hingga kini peraturan yang diperlukan untuk mengatur pembatasan wilayah merokok, kampanye dan promosi rokok, serta pembatasan produksi rokok, masih mandek di tangan pemerintah, dalam hal ini Kementrian Kesehatan.
Padahal, UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang disahkan Oktober lalu, mengamanatkan segera disahkannya Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif tersebut, maksimal setahun sejak disahkannya UU Kesehatan.
Menurut Aris, ada beberapa hal penting yang diperlukan dalam peraturan ini. Yang paling penting adalah pembatasan iklan rokok. Menurut dia, selama ini iklan-iklan rokok di Indonesia secara spesifik berhasil mengeksploitasi anak-anak yang berusia muda sebagai pemakai pemula.
“Anak-anak adalah investasi industri rokok, yang akan menggantikan para pecandu rokok yang berhenti di usia tua. Maka, promosi dan iklan rokok ini memang sengaja menggempur mereka, berkedok sponsor di bidang musik, olahraga dan kegiatan-kegiatan lain,” kata Aris.