“Orang Miskin Dilarang Sakit!” Kalimat candaan yang selalu digumam-gumamkan bagi warga miskin itu sepertinya akan terus melekat di bibir. Jika tak ada jalan keluar, kemiskinan dan keterbatasan akses penjaminan menjadi jurang yang siap mengantar seseorang ke batas hidup, Maut. Lihat saja, kali ini hati kita tak dapat membutakan untuk melihat kemalangan yang menimpa Kailatul Fatihah. Bayi yang baru mengecap dunia sebelas bulan ini sudah menanggung derita yang perih. Dari penuturan ibunya, Armayelita, Sejak usia 2 bulan kepala buah hatinya itu mulai membesar dan berair. Ia tidak tahu penyakit misterius apakah yang sedang menimpa bayi perempuan manis itu?
Hydrocephalus, itulah nama medis penyakit pembesaran serta bertambahnya cairan di batok kepala yang menyerang Kailatul. Tapi bagi Armayelita nama ilmiah penyakit itu tidak penting. Yang ia inginkan dengan penuh harap bagaimana Kailatul bisa sembuh.
“Awak ingin Kaila bisa diubek, tapi baa caronyo awak indak tahu. Pitih indak adoh,” (saya ingin Kaila bisa diobati, tapi bagaimana caranya saya tidak tahu) dengan menahan sebak Armayelita menuturkan pilunya.
Pitih alias uang, lagi-lagi itu yang membuat Armayelita tak sanggup membawa Kailatul berabat ke Rumah Sakit. Apalah daya ibu muda itu, sehari-hari ia tidak bekerja. Jangankan untuk berobat, untuk makan saja ia susah. Beruntun malang bagi Kaila, saat umurnya baru satu bulan lebih, ayahnya pergi meninggalkan rumah tanpa pesan dan tak pernah pulang hingga kini. Sehari-hari Kaila diasuh ibu, neneknya dalam gubuk reot di jorong Kototinggi Kubangbalambak kenagarian Simpang Kapuk kecamatan Mungka kabupeten Limapuluh Kota. Pemukiman di kaki bukit jauh terpencil di utara Limapuluh Kota,
Pernah sekali, saat kaila masih berumur 2 bulan, ketika itu kepala Kaila belumlah sebesar sekarang ia membawa bayinya ke Puskesamas kecamatan Mungka. Apalah daya petugas Puskesmas, mereka tak bisa berbuat banyak untuk mengobati Kailatul. Petugas meyarankan Armayelita agar Kailatul di rujuk ke Rumah Sakit.
“Kalau dibawa ke Rumah Sakit pastilah butuh biaya besar. Biaya itu yang tak ada. Kata orang Puskesmas, kalau ada Jamkesmas kita bisa rujuk Kaila ke Rumah Sakit Suliki.” Tutur Ermayelita taka kuasa menahan lelehan air matanya.
Disinilah titik balik runtuhnya semangat Armayelita untuk memperjuangkan bayinya. Dengan sangat terpaksa ia balik kanan, ia kembali membawa bayinya ke pulang ke rumah gubuk itu. Ia ceritakan, hari demi hari kondisi Kaila kian memburuk. Kepalanya terus membengkak dan lunak. Rambutnya rontok. Kulit kepalanya mengelupas dan bernanah. Mungkin Bukan Hydrocephalus saja yang diderita Kaila. Diduga ia juga mengalami gizi buruk (Marasmus). Kini kakinya sudah tampak membengkok. Sedangkan tubuhnya semakin kurus.
Siapa yang sanggup melawan waktu? Tentu tidak ada. Tapi hidup-mati bukanlah urusan Manusia. Nyawa semata-mata urusan Tuhan. Apakah ucapan nyeleneh “orang miskin sakit tidak sanggup berobat selalu berakhir tragis?” Apakah Kaila mengekor bayi hydrocephalus yang berakhir maut? Tugas kita adalah berusaha, berusaha dan berusaha disertai doa. Sayang, usaha Armayelita mengobati Kailatul terbentur biaya, terbentur tak punya ‘kartu sakti’ bernama Jamkesmas. Apalah daya seorang bayi. Kalau senang ia tertawa, kalau sakit ia merengek dan menangis. Armayelita, sang ibu menangis, Kaila pun menangis.
source: HARIAN PAGI PADANG EKSPRES
Hydrocephalus, itulah nama medis penyakit pembesaran serta bertambahnya cairan di batok kepala yang menyerang Kailatul. Tapi bagi Armayelita nama ilmiah penyakit itu tidak penting. Yang ia inginkan dengan penuh harap bagaimana Kailatul bisa sembuh.
“Awak ingin Kaila bisa diubek, tapi baa caronyo awak indak tahu. Pitih indak adoh,” (saya ingin Kaila bisa diobati, tapi bagaimana caranya saya tidak tahu) dengan menahan sebak Armayelita menuturkan pilunya.
Pitih alias uang, lagi-lagi itu yang membuat Armayelita tak sanggup membawa Kailatul berabat ke Rumah Sakit. Apalah daya ibu muda itu, sehari-hari ia tidak bekerja. Jangankan untuk berobat, untuk makan saja ia susah. Beruntun malang bagi Kaila, saat umurnya baru satu bulan lebih, ayahnya pergi meninggalkan rumah tanpa pesan dan tak pernah pulang hingga kini. Sehari-hari Kaila diasuh ibu, neneknya dalam gubuk reot di jorong Kototinggi Kubangbalambak kenagarian Simpang Kapuk kecamatan Mungka kabupeten Limapuluh Kota. Pemukiman di kaki bukit jauh terpencil di utara Limapuluh Kota,
Pernah sekali, saat kaila masih berumur 2 bulan, ketika itu kepala Kaila belumlah sebesar sekarang ia membawa bayinya ke Puskesamas kecamatan Mungka. Apalah daya petugas Puskesmas, mereka tak bisa berbuat banyak untuk mengobati Kailatul. Petugas meyarankan Armayelita agar Kailatul di rujuk ke Rumah Sakit.
“Kalau dibawa ke Rumah Sakit pastilah butuh biaya besar. Biaya itu yang tak ada. Kata orang Puskesmas, kalau ada Jamkesmas kita bisa rujuk Kaila ke Rumah Sakit Suliki.” Tutur Ermayelita taka kuasa menahan lelehan air matanya.
Disinilah titik balik runtuhnya semangat Armayelita untuk memperjuangkan bayinya. Dengan sangat terpaksa ia balik kanan, ia kembali membawa bayinya ke pulang ke rumah gubuk itu. Ia ceritakan, hari demi hari kondisi Kaila kian memburuk. Kepalanya terus membengkak dan lunak. Rambutnya rontok. Kulit kepalanya mengelupas dan bernanah. Mungkin Bukan Hydrocephalus saja yang diderita Kaila. Diduga ia juga mengalami gizi buruk (Marasmus). Kini kakinya sudah tampak membengkok. Sedangkan tubuhnya semakin kurus.
Siapa yang sanggup melawan waktu? Tentu tidak ada. Tapi hidup-mati bukanlah urusan Manusia. Nyawa semata-mata urusan Tuhan. Apakah ucapan nyeleneh “orang miskin sakit tidak sanggup berobat selalu berakhir tragis?” Apakah Kaila mengekor bayi hydrocephalus yang berakhir maut? Tugas kita adalah berusaha, berusaha dan berusaha disertai doa. Sayang, usaha Armayelita mengobati Kailatul terbentur biaya, terbentur tak punya ‘kartu sakti’ bernama Jamkesmas. Apalah daya seorang bayi. Kalau senang ia tertawa, kalau sakit ia merengek dan menangis. Armayelita, sang ibu menangis, Kaila pun menangis.
source: HARIAN PAGI PADANG EKSPRES