Penghuni Miring Di Gedung Tegak
Itu bukan isapan jempol belaka. Sudah banyak anggota DPR yang masuk bui karena suap dan manipulasi. Banyak pula anggota dewan aktif yang kini menjadi saksi dan berkelit di persidangan suap tanpa merasa bersalah.
source: http://wisbenbae.blogspot.com/2010/05/analisis-pengaruh-kemiringan-gedung-dpr.html
Studi Banding Salah Satu Anggota DPR
BILA otak dirasuki nafsu kotor, semua yang bersih di hadapan mata bisa dikelabui menjadi kotor. Celakanya, pengelabuan itu dibenarkan karena telah ditempuh melalui prosedur yang dibenarkan menurut logika hukum. Korupsi, penyakit terparah bangsa ini, telah menjadi wabah di semua institusi negara. Celakanya, parlemen, institusi yang berisi para wakil rakyat yang mengemban aspirasi--di antaranya kebencian publik terhadap korupsi--justru menjadi sarang korupsi.
Itu bukan isapan jempol belaka. Sudah banyak anggota DPR yang masuk bui karena suap dan manipulasi. Banyak pula anggota dewan aktif yang kini menjadi saksi dan berkelit di persidangan suap tanpa merasa bersalah.
Tidak cuma itu. Survei lembaga Transparency International Indonesia dalam beberapa tahun terakhir masih menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga terkorup di negeri ini, bersama kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan partai politik.
Korupsi sudah merusak cara berpikir anggota dewan sedemikian rupa sehingga tega memiringkan yang tegak, menyalahkan yang benar, dan membengkokkan yang lurus. Rencana membangun gedung baru DPR senilai Rp1,8 triliun adalah sebuah contoh tentang kemiringan berpikir itu.
Gedung berusia 19 tahun yang masih tegak berdiri itu dihembuskan ketakutan mati para anggotanya karena gedung berlantai 24 itu dikabarkan telah miring 7-8 derajat. Ketakutan itu menjadi landasan kuat untuk mengucurkan uang Rp1,8 triliun bagi pembangunan gedung baru.
Itu bermula dari gempa tektonik yang melanda Jawa Barat pada 2 September 2009. Pimpinan DPR yang takut mati menulis surat kepada Departemen Pekerjaan Umum pada 15 September 2009 untuk meneliti kelayakan gedung, terutama perkara ketahanan terhadap guncangan gempa.
Departemen Pekerjaan Umum lalu meneliti dan menjawab surat pimpinan DPR itu seminggu kemudian. Isinya, gedung itu memerlukan perbaikan ringan. Tidak ada satu kata pun rekomendasi dari PU yang mengatakan gedung itu miring dan karena itu, harus dibangun gedung baru.
Kalau otak dirasuki nafsu korupsi, nalar pun dikorbankan. Soal kemiringan gedung, misalnya, harus ada orang atau lembaga kompeten yang menentukan. Tidak bisa diputuskan berdasarkan ketakutan para anggota saja terhadap guncangan gempa.
Jangan hanya karena nafsu membelanjakan uang Rp1,8 triliun dan nikmat yang tersembunyi dan terjanjikan di balik belanja itu, kemiringan gedung disepakati dengan cara yang sangat konyol. Apa pun argumennya, soal kemiringan gedung ada pada wilayah kompetensi otoritas sipil, bukan DPR.
Tetapi bila penghuni gedung didominasi pikiran miring, bangunan yang tegak pun bisa dibilang miring. Dan, ternyata DPR mengabaikan sama sekali kompetensi dan otoritas sipil ketika telah mengetuk palu bagi pembangunan gedung baru senilai Rp1,8 triliun.
Nurani dan keterkaitan batin di sekitar kemiskinan dan kejujuran ternyata telah terputus antara anggota DPR dan rakyat yang diwakilinya. DPR telah menemukan habitatnya, yaitu sebuah gedung tegak yang memupuk semua pikiran dan selera miring.
source: http://wisbenbae.blogspot.com/2010/05/analisis-pengaruh-kemiringan-gedung-dpr.html