Setiap tanggal 21 April, kita selalu diingatkan akan perjuangan Raden Ajeng Kartini terhadap emansipasi wanita di tanah air. Tentang bagaimana wanita bisa memiliki hak yang sama dengan pria dalam sejumlah aspek kehidupan.
Perjuangan Kartini membuat wanita memiliki hak atas hidupnya. Bukan hanya bekerja di dapur dan mengurus keluarga. Itulah mengapa sebagai wanita, kita harus menunjukkan semangat untuk maju dan meraih prestasi di luar rumah.
Simak kisah tiga peshor wanita berikut ini, yang mungkin bisa menginspirasi kehidupan kita.
1. Oprah Winfrey
Siapa yang tak mengenal sosoknya. Melalui ‘The Oprah Winfrey Show’, ia tumbuh menjadi pesohor dunia yang menginspirasi banyak orang. Belum lama ini, ia bahkan dinobatkan sebagai wanita paling berpengaruh di dunia, melalui sebuah polling yang diadakan dalam rangka ulang tahun majalah Good Housekeeping ke-125.
Menilik perjalanan hidupnya, Oprah layak meraih penghargaan itu. Ratu talk show itu membuktikan perjuangan seorang minoritas di gemerlap dunia hiburan. Tak hanya lantaran ia seorang wanita kulit hitam, tapi ia juga berasal dari keluarga miskin yang memiliki kisah hidup kelam.
Lahir di Kosciusko, Mississippi, Amerika Serikat, 29 Januari 1954, Oprah menghabiskan masa kecilnya bersama sang nenek di sebuah peternakan kecil. Saking miskinnya, hampir seluruh baju-bajunya terbuat dari karung goni.
Oprah sempat kehilangan kendali atas hidupnya. Ia tak kuasa menanggung beban setelah menjadi budak seks paman dan sepupunya selama lima tahun, yang berujung pada kehamilan di usianya yang masih 14 tahun. Apalagi bayinya meninggal tak lama usai lahir.
Namun, semua itu justru memberinya segudang inspirasi menuju kesuksesan besar untuknya. Tak hanya keberhasilannya menggawangi talk show, tetapi juga kepiawaiannya membangun jaringan bisnis di dunia hiburan.
Seiring kesuksesannya, tahun ini, Forbes kembali menempatkannya sebagai wanita pesohor terkaya di dunia dengan total aset senilai US$ 2,4 miliar atau sekitar Rp 24 triliun.
2. JK Rowling
Sosok Joanne Kathleen Rowling menggebrak dunia dengan novel fantasi ‘Harry Potter’ karyanya. Lewat buku imajinasinya, ia ‘menyihir’ hidupnya dari seorang miskin menjadi sosok sukses kaya raya.
Tujuh seri ‘Harry Potter’ rekaannya masuk dalam jajaran buku terlaris di dunia sepanjang masa. Fantasinya mengenai kehidupan Sekolah Sihir Hogward itu tak hanya membuatnya berkibar di kancah kesusastraan internasional, tapi juga menjadikannya sebagai penulis wanita terkaya di dunia.
Kisah ‘Harry Potter’ sungguh mengubah hidup Rowling. Sebelum novel seri pertamanya dipublikasikan pada 1997, ia hanya seorang guru bahasa dengan kemampuan ekonomi terbatas. Bahkan, ia termasuk warga Inggris yang mendapat santunan dari pemerintah.
Sebagai gambaran, Rowling tak mampu membayar biaya foto copy untuk membuat salinan draft novelnya. Saat menawarkan kisah itu ke sejumlah penerbit, ia membuat salinan dengan cara mengetik ulang dengan mesin ketik tua.
Ia tak pernah bermimpi karyanya meledak di pasarann. Niat awal menjual karyanya hanya untuk membiayai kehidupan bersama anaknya. Kebetulan kala itu, ia adalah orangtua tunggal setelah bercerai dari suami pertama.
Namun, kenyataan berkata lain. Bukunya sukses dan diterjemahkan ke dalam 67 bahasa serta didistribusikan di lebih 200 negara. Ia membuktikan kepada dunia akan perjuangan seorang wanita mempertahankan hidup keluarganya.
3. Kathryn Bigelow
Namanya mencuat setelah berhasil memenangi Oscar sebagai sutradara terbaik. Lewat film berlatar perang Irak ‘The Hurt Locker’, ia mencetak sejarah baru sebagai wanita pertama yang menyandang gelar sutradara terbaik sepanjang 82 tahun sejarah Oscar.
Kemenangannya juga menjadi semacam sindiran terhadap film-film berbiaya besar yang menembus nominasi Oscar. Hanya dengan US$ 11 juta, karya independennya sukses menumbangkan film fenomenal ‘Avatar’, yang menelan biaya produksi US$ 300 juta.
Drama perang berirama cepat itu merupakan filmnya yang kedelapan. Selama ini, wanita kelahiran California tahun 1951 itu dikenal gigih membuat film-film indie yang mengangkat permasalahan sosial di masyarakat. Ia menjadikan film sebagai media untuk mengkritisi dunia.
Ia mengawali karier sebagai seorang pelukis dan pustakawan. Merasa tak cukup puas menuangkan ide kreatif di atas kanvas, ia lalu mengembangkan minatnya ke sinematografi dengan menempuh pendidikan di Universitas Kolombia. Sejak 1982, setidaknya ia telah menghasilkan delapan karya sinematografi.
Piala Oscar dalam genggaman Bigelow membuktikan banyak hal. Bukan hanya kualitasnya seorang sutradara wanita, namun juga keberhasilannya mengangkat sebuah karya independen berbiaya rendah ke ajang penghargaan film terbesar di dunia.
Selamat hari Kartini!
source: vivanews