Sebagian besar literatur tentang mimpi, biasanya akan diawali dengan pembahasan tentang teori psikoanalisa dari Sigmund Freud tentang alam bawah sadar, tapi saya tahu kalau pendekatan seperti ini jelas tidak cocok untuk pertanyaan yang mengharapkan jawaban yang "Islami" (walaupun bahasan yang "Islami" tentang mimpi juga tidak kunjung saya temukan). Persoalannya adalah selain beliau (Freud) adalah orang Yahudi, dia juga dianggap pendukung setia teori Darwin (yang ditentang keras oleh mereka yang mengaku "beriman" itu).
Akhirnya yang muncul adalah jawaban panjang lebar tentang kondisi REM dalam tidur, dan teori penyebab terjadinya mimpi yang sama sekali tidak menyinggung tentang Freud. Tentu saja jawaban model begini tidak diarsipkan di situs Isnet, tapi rasanya ada gunanya kalau saya pampangkan di halaman ini saja.
Dibalik Sebuah Impian
Secara umum, mimpi biasanya didefinisikan sebagai proses dari bayangan, perasaan, pergerakan dan pikiran yang kita alami saat tertidur. Mimpi dapat dialami pada setiap fase dalam tidur kita, dan tidak harus selalu melibatkan rangsang tertentu (misalnya rangsang visual). Orang buta, misalnya, mengalami mimpi melalui rangsangan pendengaran maupun perasaan dan gerakan (sensorik-motorik). Mimpi juga bukan merupakan keistimewaan yang hanya dialami manusia. Penelitian menunjukkan bahwa mimpi juga dialami oleh hewan.
Fase REM dalam tidur
Sekitar tahun 1953, peneliti Nathaniel Kleitman membuat suatu penemuan penting mengenai fase REM (Rapid Eye Movement) dalam tidur. Fase ini ditandai dengan pergerakan bola mata yang cepat secara periodik yang terjadi baik pada manusia maupun hewan saat tertidur. Dalam sebuah penelitian yang melibatkan sukarelawan sebagai subjek penelitian, saat tidur subjek penelitian dihubungkan dengan peralatan-peralatan EEG (electroencephalogram, pengukur gelombang otak), EMG (electromyogram, pengukur pergerakan otot), dan EOG (electroculogram, pengukur gerakan bola mata). Sekitar 90% subjek yang dibangunkan dari tidur saat mengalami fase REM melaporkan bahwa mereka mengalami mimpi (sekitar 60% subjek yang dibangunkan sebelum mengalami fase REM juga melaporkan mengalami aktifitas mirip mimpi dalam tidurnya).
Sebelum adanya penelitian mengenai REM, masih belum diketahui persis seberapa sering manusia bermimpi. Beberapa teori bahkan menyebutkan bahwa impian merupakan tanda-tanda gangguan mental bagi mereka yang mengalaminya. Melalui riset laboratorium mengenai mimpi, subjek dibangunkan dari tidurnya setelah mengalami fase REM untuk diteliti aktifitas mentalnya selama tidur secara seksama. Manusia diketahui mengalami mimpi pada setiap malam. Pada manusia dewasa, mimpi biasanya berlangsung pada sekitar 90 menit setelah mulai tertidur dan terjadi lagi setiap 90 menit dengan durasi yang lebih lama, selama total 2 jam fase REM dalam tidur malam. Dengan rata-rata 5 mimpi tiap malam, manusia rata2 mengalami 136.000 impian sepanjang hidupnya dengan waktu yang setara dengan 6 tahun fase REM dalam tidur!
Saat mengalami mimpi dalam fase REM, manusia mengalami peningkatan pada detak jantung, pernafasan, tekanan darah, konsumsi oksigen, dan pengeluaran getah lambung. Tidur fase REM biasanya disebut sebagai tidur paradox karena memiliki karakteristik seperti tidur fase awal (light sleep) dan tidur fase lanjut (deep sleep) sekaligus: Berdasarkan pengukuran pada EEG, fase REM adalah tidur fase awal (tingkat I), sedangkan berdasarkan pengukuran EMG merupakan tidur fase lanjut (tingkat IV), karena sebagian besar otot seolah-olah "dilumpuhkan" secara bersamaan untuk mencegah si pemimpi secara fisik melakukan apa yang diimpikannya (misalnya berjalan sambil tidur).
Beberapa teori mencoba menjelaskan mengenai manfaat fase REM dalam tidur diantaranya:
Penyebab terjadinya Mimpi
Berlawanan dengan apa yang diyakini kebanyakan orang, mimpi TIDAK disebabkan karena memakan makanan tertentu sebelum tidur, atau stimulus (rangsangan) tertentu dari lingkungan sekitarnya selama tidur. Mimpi disebabkan oleh proses biologis internal dalam tubuh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel otak besar pada bagian belakang otak secara periodik pecah dalam selang waktu sekitar 90 menit, dan mengirimkan rangsangan (stimuli) yang bersifat acak (random) ke bagian korteks (cortex) pada otak. Sebagai akibatnya, bagian memori, sensorik, kontrol saraf, dan kesadaran pada otak ter-stimulasi secara acak yang berdampak adanya rangsangan pada puncak bagian korteks pada otak. Menurut penelitian ini, proses diatas mengakibatkan kita mengalami apa yang kita sebut sebagai mimpi.
Pada akhir-akhir ini, kontroveresi yang paling signifikan mengenai mimpi berkisar pada pertanyaan apakah mimpi memiliki kaitan langsung dengan pribadi seseorang ataukah tidak. Sebagian psikoterapis berpendapat bahwa saat rangsangan neurologis dari otak memicu proses terjadinya mimpi, isi atau representasi dalam mimpi dapat berasal dari kebutuhan, keinginan, atau harapan dari alam bawah sadar dan kehidupan sehari-hari pada orang yang mengalami mimpi tersebut. Karena itu sebagian psikoterapis beranggapan bahwa mimpi merupakan cetusan dari alam bawah sadar seseorang. Penjelasan ini dikenal sebagai penjelasan "phenomenological-clinical", atau "top-down". Dilain pihak, penjelasan neourologis, atau "bottom-up", menyatakan bahwa mimpi sama sekali tidak memiliki arti khusus.
Diantara keduanya terdapat pendekatan yang disebut "context analysis", yang menjelaskan dan mengklasifikasikan representasi yang ditemukan seseorang dalam mimpinya, seperti manusia, rumah, kendaraan, pohon, kendaraan, tanpa interpretasi yang mendalam mengenai detil objek tersebut. Perbedaan antara representasi telah ditemukan antara mimpi yang dialami pria dan wanita, serta mimpi yang dialami manusia dalam berbagai tingkatan pertumbuhan. Mengenai arti perbedaan tersebut saat ini masih dalam penelitian
Akhirnya yang muncul adalah jawaban panjang lebar tentang kondisi REM dalam tidur, dan teori penyebab terjadinya mimpi yang sama sekali tidak menyinggung tentang Freud. Tentu saja jawaban model begini tidak diarsipkan di situs Isnet, tapi rasanya ada gunanya kalau saya pampangkan di halaman ini saja.
Secara umum, mimpi biasanya didefinisikan sebagai proses dari bayangan, perasaan, pergerakan dan pikiran yang kita alami saat tertidur. Mimpi dapat dialami pada setiap fase dalam tidur kita, dan tidak harus selalu melibatkan rangsang tertentu (misalnya rangsang visual). Orang buta, misalnya, mengalami mimpi melalui rangsangan pendengaran maupun perasaan dan gerakan (sensorik-motorik). Mimpi juga bukan merupakan keistimewaan yang hanya dialami manusia. Penelitian menunjukkan bahwa mimpi juga dialami oleh hewan.
Fase REM dalam tidur
Sekitar tahun 1953, peneliti Nathaniel Kleitman membuat suatu penemuan penting mengenai fase REM (Rapid Eye Movement) dalam tidur. Fase ini ditandai dengan pergerakan bola mata yang cepat secara periodik yang terjadi baik pada manusia maupun hewan saat tertidur. Dalam sebuah penelitian yang melibatkan sukarelawan sebagai subjek penelitian, saat tidur subjek penelitian dihubungkan dengan peralatan-peralatan EEG (electroencephalogram, pengukur gelombang otak), EMG (electromyogram, pengukur pergerakan otot), dan EOG (electroculogram, pengukur gerakan bola mata). Sekitar 90% subjek yang dibangunkan dari tidur saat mengalami fase REM melaporkan bahwa mereka mengalami mimpi (sekitar 60% subjek yang dibangunkan sebelum mengalami fase REM juga melaporkan mengalami aktifitas mirip mimpi dalam tidurnya).
Sebelum adanya penelitian mengenai REM, masih belum diketahui persis seberapa sering manusia bermimpi. Beberapa teori bahkan menyebutkan bahwa impian merupakan tanda-tanda gangguan mental bagi mereka yang mengalaminya. Melalui riset laboratorium mengenai mimpi, subjek dibangunkan dari tidurnya setelah mengalami fase REM untuk diteliti aktifitas mentalnya selama tidur secara seksama. Manusia diketahui mengalami mimpi pada setiap malam. Pada manusia dewasa, mimpi biasanya berlangsung pada sekitar 90 menit setelah mulai tertidur dan terjadi lagi setiap 90 menit dengan durasi yang lebih lama, selama total 2 jam fase REM dalam tidur malam. Dengan rata-rata 5 mimpi tiap malam, manusia rata2 mengalami 136.000 impian sepanjang hidupnya dengan waktu yang setara dengan 6 tahun fase REM dalam tidur!
Saat mengalami mimpi dalam fase REM, manusia mengalami peningkatan pada detak jantung, pernafasan, tekanan darah, konsumsi oksigen, dan pengeluaran getah lambung. Tidur fase REM biasanya disebut sebagai tidur paradox karena memiliki karakteristik seperti tidur fase awal (light sleep) dan tidur fase lanjut (deep sleep) sekaligus: Berdasarkan pengukuran pada EEG, fase REM adalah tidur fase awal (tingkat I), sedangkan berdasarkan pengukuran EMG merupakan tidur fase lanjut (tingkat IV), karena sebagian besar otot seolah-olah "dilumpuhkan" secara bersamaan untuk mencegah si pemimpi secara fisik melakukan apa yang diimpikannya (misalnya berjalan sambil tidur).
Beberapa teori mencoba menjelaskan mengenai manfaat fase REM dalam tidur diantaranya:
- Tidur fase REM memungkinkan stimulasi bagi perkembangan otak
- Sebagai bagian dari fungsi perbaikan secara kimia terhadap bagian otak yang mengalami kerusakan
- Memungkinkan terjadinya koordinasi terhadap gerak mata, berdasarkan fakta bahwa pada fase tidur non REM, kedua bola mata bergerak secara sendiri-sendiri
- Sebagai fungsi penjagaan, berhubung pada tidur fase REM (tingkat I) dikenali sebagai fase setengah sadar sebelum betul-betul terbangun dari tidur
- Teori paling akhir yang juga kontroversial menyebutkan bahwa dalam tidur fase REM terjadi penghapusan fungsi neurologis pada otak
- Dalam pengertian psikologis, mimpi pada fase REM diduga dapat meningkatkan dan meng-organisasi memori (ingatan) di otak.
Penyebab terjadinya Mimpi
Berlawanan dengan apa yang diyakini kebanyakan orang, mimpi TIDAK disebabkan karena memakan makanan tertentu sebelum tidur, atau stimulus (rangsangan) tertentu dari lingkungan sekitarnya selama tidur. Mimpi disebabkan oleh proses biologis internal dalam tubuh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel otak besar pada bagian belakang otak secara periodik pecah dalam selang waktu sekitar 90 menit, dan mengirimkan rangsangan (stimuli) yang bersifat acak (random) ke bagian korteks (cortex) pada otak. Sebagai akibatnya, bagian memori, sensorik, kontrol saraf, dan kesadaran pada otak ter-stimulasi secara acak yang berdampak adanya rangsangan pada puncak bagian korteks pada otak. Menurut penelitian ini, proses diatas mengakibatkan kita mengalami apa yang kita sebut sebagai mimpi.
Pada akhir-akhir ini, kontroveresi yang paling signifikan mengenai mimpi berkisar pada pertanyaan apakah mimpi memiliki kaitan langsung dengan pribadi seseorang ataukah tidak. Sebagian psikoterapis berpendapat bahwa saat rangsangan neurologis dari otak memicu proses terjadinya mimpi, isi atau representasi dalam mimpi dapat berasal dari kebutuhan, keinginan, atau harapan dari alam bawah sadar dan kehidupan sehari-hari pada orang yang mengalami mimpi tersebut. Karena itu sebagian psikoterapis beranggapan bahwa mimpi merupakan cetusan dari alam bawah sadar seseorang. Penjelasan ini dikenal sebagai penjelasan "phenomenological-clinical", atau "top-down". Dilain pihak, penjelasan neourologis, atau "bottom-up", menyatakan bahwa mimpi sama sekali tidak memiliki arti khusus.
Diantara keduanya terdapat pendekatan yang disebut "context analysis", yang menjelaskan dan mengklasifikasikan representasi yang ditemukan seseorang dalam mimpinya, seperti manusia, rumah, kendaraan, pohon, kendaraan, tanpa interpretasi yang mendalam mengenai detil objek tersebut. Perbedaan antara representasi telah ditemukan antara mimpi yang dialami pria dan wanita, serta mimpi yang dialami manusia dalam berbagai tingkatan pertumbuhan. Mengenai arti perbedaan tersebut saat ini masih dalam penelitian