Sosok pemimpin teroris serbabisa benar-benar melekat pada figur Dulmatin. Tidak hanya jago meracik bom dan perang gerilya, tokoh teroris yang tewas setelah ditembak di Pamulang, Tangerang, Banten, Selasa lalu (9/3) itu juga seorang perayu nomor wahid. Dulmatin bahkan bisa merekrut orang-orang di instansi pemerintahan untuk bergabung ke jaringannya.
Tiga di antara 30 orang anggota jaringan Dulmatin yang kini diinterogasi serius oleh polisi adalah eks birokrat. Mereka adalah Sofyan Tasauri, Fauzi Syarif, dan Yudi Zulfahri. Sofyan adalah desertir Polres Depok pada 2008 dengan pangkat brigadir. Fauzi adalah mantri kesehatan yang juga pegawai negeri sipil di Pemkot Tangerang. Yudi adalah alumnus STPDN pada 2007.
Selain mengejar orang-orang yang belum tertangkap, Densus 88 juga menginvestigasi kekuatan jaringan Dulmatin di birokrasi. "Mereka masih bungkam. Belum mau membuka siapa saja orang lain yang berhasil dipengaruhi," ujar seorang perwira penyidik kepada Jawa Pos kemarin (14/03).
Polisi menduga, bukan hanya tiga orang itu yang termakan rayuan Dulmatin. "Kalau melihat pola operasinya, Dulmatin memang memilih sasaran orang secara khusus untuk memuluskan aksinya," kata sumber itu.
Keberhasilan Dulmatin memperoleh identitas KTP atas nama Yahya Ibrahim di Ciracas, Jakarta Timur, juga menimbulkan kecurigaan aparat. Apalagi, berkat KTP itu, Dulmatin bisa memperoleh paspor secara legal dan sah di Kantor Imigrasi Jakarta Timur. "Dengan paspor itu, Dulmatin bisa keluar masuk dengan mudah karena paspornya bukan paspor palsu," ungkap sumber tersebut.
Salah seorang pembantu utama Dulmatin, yakni desertir polisi Sofyan Tsauri, dapat dipengaruhi sejak 2006. Bahkan, sehari-hari saat bertugas di Polres Depok, tingkah Sofyan sudah mulai berbeda. Hal itu diakui oleh salah seorang mantan komandan Sofyan di Polres Depok.
Kepada Indopos (Jawa Pos Group), Kasat Samapta Polres Depok Kompol Putu Sumada mengatakan, saat menjadi anak buahnya, Sofyan tidak mau menyebutkan Tribrata. Alasannya haram karena menjunjung tinggi NKRI. "Itu penghinaan kepada korps. Kita harus hafal Tribrata, jangan sampai seperti Sofyan yang kini terlibat jaringan teroris," ujar Putu di Depok.
Saat itu, Sumada marah besar kepada Sofyan. "Saya ingat dia tidak mau ucapkan Tribrata, katanya haram. Itu seperti Pancasila, tuntunan hidup Polri. Langsung saya tempeleng," tuturnya. Setelah kejadian itu, lanjut Sumada, Sofyan tidak pernah masuk kerja lebih dari tiga bulan.
Akhirnya, dia dipecat pada 2008 karena desersi. Sumada mengingatkan para anggotanya agar berkomitmen kepada Polri dan tidak seperti Sofyan. "Saya malu disebut ada eks anggota saya yang menjadi teroris. Dari Sabang sampai Merauke, jangan sampai ada anggota Polri yang seperti Sofyan," harapnya.
Sofyan merupakan penyedia dan penyuplai senjata bagi kelompok Dulmatin untuk berlatih di Aceh. Pria yang pernah tinggal di Puri Mandala, Cimanggis, dan Limas Elok, Depok, itu sekarang ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua, Depok.
Seorang mantan kombatan yang pernah mengenal Sofyan menilai Sofyan sebagai polisi yang jujur. "Justru dia itu dipecat karena hendak poligami, bukan karena desersi," katanya.
Dia ingat saat bertemu dengan Sofyan di sebuah majelis taklim. "Saat itu akhi (saudara, Red) Sofyan bilang rindu ingin berjihad. Saya jawab, kalau antum (kamu, Red) polisi, ya berjihad dengan memberantas kemaksiatan, perangi judi dan narkoba," kata sumber itu. Pada Januari 2008, dia kehilangan kontak dengan Sofyan. "Saya tahu kalau dia ikut ditangkap saat Kapolri mengumumkan di televisi," ujarnya.
Selain Sofyan, pembantu Dulmatin yang punya peran penting adalah Fauzi Syarif, seorang pegawai pemerintah Kota Tangerang. Fauzi tercatat sebagai kepala Subbagian Tata Usaha Puskesmas Karang Tengah, Pemkot Tangerang. Dia juga pernah menempuh pendidikan magister ilmu kesehatan masyarakat di sebuah universitas di Jakarta.
Fauzi menjadi tersangka karena diduga menyediakan safe house (rumah perlindungan) sementara bagi anggota jaringan Dulmatin. Dua orang pengawal Dulmatin, yakni Ridwan dan Hasan Noor, ditembak tidak jauh dari rumah Fauzi. Dari rumah Fauzi juga disita handycam dan laptop. Dari pemeriksaan sementara diketahui handycam dan laptop itu berisi materi indoktrinasi paham jihad ala Dulmatin.
Anak buah Dulmatin lain yang jadi keyperson (kontak) di Aceh adalah Yudi Zulfahri, alumni Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) tahun 2007. STPDN selama ini menerapkan sistem disiplin yang ketat dan diawasi langsung oleh Kementerian Dalam Negeri. "Yudi adalah orang yang memfasilitasi kelompok Dulmatin masuk ke Aceh. Dia asli Aceh dan digunakan untuk membuka jalan untuk latihan," kata Kapolri saat mengumumkan peran Yudi beberapa waktu lalu.
Kadivhumas Mabes Polri Edward Aritonang memastikan semua jaringan Dulmatin akan diurai. Menurut Edward, ada dua kelompok utama yang sekarang ditarget polisi. Kelompok pertama adalah DPO lama yang memang sudah ada dalam database Polri. "Kelompok yang kedua adalah orang-orang baru yang terkait dengan Aceh maupun jaringan lainnya," katanya Sabtu (13/3).
source: jawa pos
Tiga di antara 30 orang anggota jaringan Dulmatin yang kini diinterogasi serius oleh polisi adalah eks birokrat. Mereka adalah Sofyan Tasauri, Fauzi Syarif, dan Yudi Zulfahri. Sofyan adalah desertir Polres Depok pada 2008 dengan pangkat brigadir. Fauzi adalah mantri kesehatan yang juga pegawai negeri sipil di Pemkot Tangerang. Yudi adalah alumnus STPDN pada 2007.
Selain mengejar orang-orang yang belum tertangkap, Densus 88 juga menginvestigasi kekuatan jaringan Dulmatin di birokrasi. "Mereka masih bungkam. Belum mau membuka siapa saja orang lain yang berhasil dipengaruhi," ujar seorang perwira penyidik kepada Jawa Pos kemarin (14/03).
Polisi menduga, bukan hanya tiga orang itu yang termakan rayuan Dulmatin. "Kalau melihat pola operasinya, Dulmatin memang memilih sasaran orang secara khusus untuk memuluskan aksinya," kata sumber itu.
Keberhasilan Dulmatin memperoleh identitas KTP atas nama Yahya Ibrahim di Ciracas, Jakarta Timur, juga menimbulkan kecurigaan aparat. Apalagi, berkat KTP itu, Dulmatin bisa memperoleh paspor secara legal dan sah di Kantor Imigrasi Jakarta Timur. "Dengan paspor itu, Dulmatin bisa keluar masuk dengan mudah karena paspornya bukan paspor palsu," ungkap sumber tersebut.
Salah seorang pembantu utama Dulmatin, yakni desertir polisi Sofyan Tsauri, dapat dipengaruhi sejak 2006. Bahkan, sehari-hari saat bertugas di Polres Depok, tingkah Sofyan sudah mulai berbeda. Hal itu diakui oleh salah seorang mantan komandan Sofyan di Polres Depok.
Kepada Indopos (Jawa Pos Group), Kasat Samapta Polres Depok Kompol Putu Sumada mengatakan, saat menjadi anak buahnya, Sofyan tidak mau menyebutkan Tribrata. Alasannya haram karena menjunjung tinggi NKRI. "Itu penghinaan kepada korps. Kita harus hafal Tribrata, jangan sampai seperti Sofyan yang kini terlibat jaringan teroris," ujar Putu di Depok.
Saat itu, Sumada marah besar kepada Sofyan. "Saya ingat dia tidak mau ucapkan Tribrata, katanya haram. Itu seperti Pancasila, tuntunan hidup Polri. Langsung saya tempeleng," tuturnya. Setelah kejadian itu, lanjut Sumada, Sofyan tidak pernah masuk kerja lebih dari tiga bulan.
Akhirnya, dia dipecat pada 2008 karena desersi. Sumada mengingatkan para anggotanya agar berkomitmen kepada Polri dan tidak seperti Sofyan. "Saya malu disebut ada eks anggota saya yang menjadi teroris. Dari Sabang sampai Merauke, jangan sampai ada anggota Polri yang seperti Sofyan," harapnya.
Sofyan merupakan penyedia dan penyuplai senjata bagi kelompok Dulmatin untuk berlatih di Aceh. Pria yang pernah tinggal di Puri Mandala, Cimanggis, dan Limas Elok, Depok, itu sekarang ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua, Depok.
Seorang mantan kombatan yang pernah mengenal Sofyan menilai Sofyan sebagai polisi yang jujur. "Justru dia itu dipecat karena hendak poligami, bukan karena desersi," katanya.
Dia ingat saat bertemu dengan Sofyan di sebuah majelis taklim. "Saat itu akhi (saudara, Red) Sofyan bilang rindu ingin berjihad. Saya jawab, kalau antum (kamu, Red) polisi, ya berjihad dengan memberantas kemaksiatan, perangi judi dan narkoba," kata sumber itu. Pada Januari 2008, dia kehilangan kontak dengan Sofyan. "Saya tahu kalau dia ikut ditangkap saat Kapolri mengumumkan di televisi," ujarnya.
Selain Sofyan, pembantu Dulmatin yang punya peran penting adalah Fauzi Syarif, seorang pegawai pemerintah Kota Tangerang. Fauzi tercatat sebagai kepala Subbagian Tata Usaha Puskesmas Karang Tengah, Pemkot Tangerang. Dia juga pernah menempuh pendidikan magister ilmu kesehatan masyarakat di sebuah universitas di Jakarta.
Fauzi menjadi tersangka karena diduga menyediakan safe house (rumah perlindungan) sementara bagi anggota jaringan Dulmatin. Dua orang pengawal Dulmatin, yakni Ridwan dan Hasan Noor, ditembak tidak jauh dari rumah Fauzi. Dari rumah Fauzi juga disita handycam dan laptop. Dari pemeriksaan sementara diketahui handycam dan laptop itu berisi materi indoktrinasi paham jihad ala Dulmatin.
Anak buah Dulmatin lain yang jadi keyperson (kontak) di Aceh adalah Yudi Zulfahri, alumni Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) tahun 2007. STPDN selama ini menerapkan sistem disiplin yang ketat dan diawasi langsung oleh Kementerian Dalam Negeri. "Yudi adalah orang yang memfasilitasi kelompok Dulmatin masuk ke Aceh. Dia asli Aceh dan digunakan untuk membuka jalan untuk latihan," kata Kapolri saat mengumumkan peran Yudi beberapa waktu lalu.
Kadivhumas Mabes Polri Edward Aritonang memastikan semua jaringan Dulmatin akan diurai. Menurut Edward, ada dua kelompok utama yang sekarang ditarget polisi. Kelompok pertama adalah DPO lama yang memang sudah ada dalam database Polri. "Kelompok yang kedua adalah orang-orang baru yang terkait dengan Aceh maupun jaringan lainnya," katanya Sabtu (13/3).
source: jawa pos